Pandemi COVID-19 memberikan tekanan ekonomi yang berat bagi negeri ini. Terbukti, pada Kuartal II 2020, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan pertumbuhan ekonomi tahunan yakni -5,32% dalam nilai Produk Domestik Bruto (PDB).
Meski mengalami sedikit peningkatan PDB pada kuartal III 2020 yakni menjadi -3,49%, namun pertumbuhan ekonomi yang minus selama dua kuartal berturut-turut membawa Indonesia masuk ke zona resesi sejak kuartal III 2020. BPS juga mencatat adanya deflasi tiga kali berturut sejak Juli hingga September 2020. Rendahnya konsumsi disebut-sebut menjadi pemicu terjadinya deflasi di Indonesia.
Lantas bagaimanakah perencanaan keuangan yang ideal untuk menghadapi resesi saat ini? Bagaimana pula cara berinvestasi yang tepat di masa yang penuh ketidakpastian ini? Berikut ulasannya.
COVID-19 menciptakan ketidakpastian ekonomi yang akhirnya memukul berbagai sektor industri. Masih dari data yang sama, Berita Resmi Statistik BPS memperlihatkan kita bahwa masih banyak sektor usaha yang pertumbuhannya minus secara tahun ke tahun yaitu sektor industri, perdagangan, konstruksi, pertambangan, transportasi dan pergudangan, jasa keuangan, akomodasi makan dan minum, jasa perusahaan, dan pengadaan listrik.
Tekanan-tekanan di sektor usaha bisa memaksa perusahaan yang bersangkutan memperketat biaya operasional yang berujung pemutusan hubungan kerja (PHK). Secara tidak langsung, hal itu membuat rekrutmen karyawan tak menjadi prioritas, dan berimbas ke minimnya lowongan pekerjaan
Apakah yang akan kita lakukan jika kita menjadi salah satu korban PHK di masa pandemi yang akhirnya kesulitan untuk mencari pekerjaan baru? Dikarenakan kebutuhan masih terus ada, untuk menghadapi situasi seperti ini kita perlu mempersiapkan dana darurat.
Tanpa dana darurat yang cukup, besar kemungkinan kita akan kehilangan aset atau terpaksa berhutang untuk memenuhi kebutuhan bulanan kita, karena tidak adanya sumber pemasukan.
Pastikan kita sudah mempersiapkan dana darurat minimal enam kali pengeluaran bulanan. Hal itu disebabkan ketidakpastian ekonomi masih cukup tinggi, tidaklah mudah mencari pekerjaan baru dalam waktu singkat seperti di masa pra-pandemi.
Sesuaikanlah pula jumlah dana darurat dengan jumlah tanggungan Anda. Semakin banyak jumlah tanggungan, maka semakin besar pula dana darurat yang Anda butuhkan.
Simpanlah dana darurat tersebut di instrumen keuangan yang likuid atau mudah dikonversikan dalam bentuk uang dengan cepat dan rendah risiko (tidak mengalami fluktuasi nilai tinggi). Beberapa instrumen keuangan yang dimaksud adalah tabungan bank, deposito, atau reksa dana pasar uang.
Lantas, bagi mereka yang belum punya, apakah terlambat untuk mengumpulkan dana darurat saat ini? Tentu tidak ada kata terlambat.
Alokasikanlah dana minimal 10% dari pemasukan rutin setiap bulan untuk menabung dana darurat. Dengan melakukannya secara rutin, dana darurat yang terkumpul bisa mencukupi kebutuhan Anda saat dalam kondisi sulit.
Seperti yang tercantum di Data Distribusi Simpanan Bank Umum dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), total simpanan bank umum mengalami kenaikan 11,3% dari Januari ke September 2020, alias dari Rp 6.035 triliun jadi Rp 6.721 triliun. Data ini menunjukkan bahwa di masa pandemi, orang-orang cenderung memilih untuk menabung, apakah Anda termasuk salah satu di antara mereka?
Menabung tentu baik untuk dilakukan, namun jika 100% dana Anda hanya disimpan di rekening tabungan, maka Anda kurang berinvestasi. Menempatkan 100% dana di tabungan hanya akan menambah aset tidur (aset yang tidak produktif). Bayangkan saja, bunga tabungan yang umumnya berjumlah 0 hingga 2% masih akan dipotong dengan biaya administrasi dari bank.
Hal itu pun menyebabkan pertumbuhan dana kita menjadi semakin lambat, dan tidak menutup kemungkinan pula bahwa seluruh dana kita akan tergerus inflasi.
Berinvestasilah agar Anda bisa mempercepat realisasi tujuan jangka panjang Anda. Secara garis besar, tujuan jangka panjang yang umum dimiliki sebuah keluarga adalah biaya pendidikan anak untuk jenjang tinggi (kuliah) dan biaya pensiun.
Dengan adanya tanda pemulihan ekonomi, maka ada baiknya melakukan rebalancing portofolio. Hal itu bisa dilakukan dengan memindahkan sebagian dana yang kita miliki di deposito atau di tabungan ke pasar modal untuk mendapatkan imbal hasil yang lebih besar.
Satu hal yang harus Anda ketahui dalam investasi jangka panjang adalah fleksibilitas dalam menentukan pilihan instrumen investasi. Berinvestasi di instrumen tinggi risiko tentu bisa menjadi pilihan karena imbal hasil yang Anda terima bisa jauh lebih besar.
"Jangan pernah menaruh seluruh telur Anda dalam satu keranjang." Ungkapan ini cukup erat kaitannya dengan diversifikasi investasi.
Diversifikasi tentu bisa menjadi solusi untuk mengurangi risiko investasi yang berakibat menggerus modal kita.
Contohnya, seseorang berinvestasi dengan membeli emas dan saham. Di masa pandemi, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat mengalami koreksi tajam pada Maret 2020. Tapi emas yang merupakan safe haven justru terus mengalami kenaikan nilai di saat ekonomi penuh dengan ketidakpastian.
Akhirnya, nilai total aset investasi kita pun menjadi terlindungi. Ketika kita hanya berinvestasi dengan membeli saham, tentu saja nilai aset kita akan tergerus dalam jumlah besar. Namun jika kita hanya memiliki emas, maka pertumbuhan aset kita akan berlangsung lambat.
Lakukan diversifikasi investasi berdasarkan tujuan, usia, dan profil risiko investasi kita sendiri.
Untuk tujuan jangka pendek dalam 1 hingga 3 tahun, gunakan instrumen rendah risiko atau pendapatan tetap. Beberapa yang bisa dipertimbangkan seperti reksa dana pasar uang, deposito, atau surat berharga negara.
Sementara itu untuk tujuan jangka menengah, Anda bisa memilih reksa dana pendapatan tetap, dan untuk jangka panjang pilihannya adalah reksa dana saham atau langsung membeli saham.
Risiko-risiko dalam hidup seperti hilangnya pendapatan karena wafatnya si pencari nafkah atau ketidakmampuan pencari nafkah untuk bekerja karena cacat tetap total, jelas harus dimitigasi. Memiliki Proteksi Jiwa adalah salah satu cara yang tepat untuk mengatasi risiko ini.
Menurut data Global Medical Trends Survey Report 2020 yang dipublikasikan Willis Towers Watson, kenaikan biaya medis secara bruto di Indonesia bisa mencapai 11% per tahun. Apakah pendapatan kita juga selalu naik 11% per tahun? Tentu saja tidak semua masyarakat bisa menikmati kenaikan penghasilan setiap tahunnya.
Oleh karena itu, memiliki jaminan kesehatan berupa Asuransi Kesehatan tentu menjadi solusi yang baik. Dengan adanya Asuransi Jiwa, biaya rawat jalan, rawat inap, operasi, hingga obat-obatan yang harus kita bayar akan ditanggung sepenuhnya oleh Asuransi.
Kita tidak akan pernah tahu kapan musibah sakit menyerang. Sangat disayangkan apabila kita harus kehilangan uang dalam jumlah besar atau harus menjual aset demi berobat.
Selama belanja ditujukan untuk membeli barang dan jasa yang kita butuhkan, lakukanlah. Namun jika hanya ditujukan untuk memuaskan hasrat keinginan kita, pikir dua kali dan lakukan perhitungan terlebih dulu.
Data BPS menyebutkan bahwa jika dilihat secara tahunan, PDB yang disumbang dari konsumsi masyarakat juga masih berada di level minus -4,04%. Ketika konsumsi lemah, maka penghasilan di berbagai sektor usaha juga akan mengalami penurunan.
Oleh karena itulah, menunda konsumsi bukan ide yang baik. Namun berlebihan dalam konsumsi tentunya bisa membahayakan kesehatan keuangan juga.
Itulah hal-hal seputar tips menghadapi resesi di masa pandemi. Pada intinya, investasi merupakan hal yang penting, namun investasi tanpa proteksi tentu akan memunculkan masalah di masa yang akan datang.
Kami akan segera merespon pesan Bapak/Ibu pada jam operasional kami.
Error:
Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. Silakan coba kembali beberapa saat lagi.
Kunjungi laman menarik lainnya:
Kami akan segera merespon pesan Bapak/Ibu pada jam operasional kami.
Error:
Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. Silakan coba kembali beberapa saat lagi.
Kunjungi laman menarik lainnya:
Tentang Manulife
Manulife Indonesia melayani sekitar 2 juta nasabah di Indonesia