Ada kesalahpahaman terbesar di benak banyak orang saat ini. Kekayaan diartikan sebagai seberapa besar pendapatan yang kita miliki. Pada kenyataannya, kekayaan berhubungan dengan kebiasaan kita berbelanja, khususnya untuk hal-hal kecil. Karena itu, David Bach, seorang penulis finansial memberikan istilah yang mudah diingat untuk fenomena ini, yaitu latte factor.
Dalam bukunya yang berjudul "The Latte Factor", Bach menggambarkan latte factor sebagai pengeluaran kecil yang kerap dihabiskan orang di sana-sini tanpa mereka sadari. Konsepnya sederhana, sejumlah kecil uang yang dibelanjakan secara teratur membuat biayanya jauh lebih mahal daripada yang dapat kita bayangkan.
Istilah itu didapat dari gagasan tentang kebiasaan menyeruput kopi, di mana jika kita menjumlahkan biaya secangkir latte per hari dan menginvestasikannya, kita bisa membangun kekayaan signifikan lebih cepat.
Nah, biaya-biaya kecil itu, menurut buku tersebut, bisa dijadikan sumber dana untuk memenuhi kebutuhan mendesak, seperti membeli Asuransi, dana darurat, dan lainnya. Untuk menerapkan konsep latte factor ini, kita harus melacak pengeluaran apa yang membuat kita boros selama sebulan.
Setidaknya, ada 5 pengeluaran kecil yang paling umum dilakukan orang, dan membuatnya menjadi boros.
Menurut studi Global Generational Lifestyle Report tahun 2015 dari Nielsen yang dilakukan di 60 negara, termasuk Indonesia, menunjukkan bahwa milenial hobi makan di luar rumah atau dine out. Porsi makan di luar rumah generasi milenial sebesar 58% dibandingkan baby boomers yang hanya 29%.
Memang, kita jarang sekali menghitung biaya makan, apalagi itu adalah kebutuhan utama tiap orang. Coba sekarang kita hitung biaya makan di restoran di mall, belum lagi dengan kebiasaan memesan makanan pesan antar untuk ngemil. Kita tidak pernah melakukan semua pembelian makanan-minuman itu pada hari yang sama. Tetapi selama 30 hari, pembelian tersebut akan terus bertambah dan biayanya menjadi besar.
Tidak diragukan lagi bahwa kopi memainkan peran penting bagi pekerja kantoran di manapun mereka berada. Kegiatan bekerja di rumah yang jauh dari kedai kopi, membuat orang kerap memesan kopi lewat aplikasi pesan antar. Lihat saja, fenomena kopi literan yang menandakan bahwa demand mengonsumsi kopi semakin besar di Indonesia.
Jarang kita menyadari berapa banyak uang yang sebenarnya kita belanjakan untuk minuman kopi tersebut. Menurut International Coffee Organization (ICO), konsumsi kopi Indonesia per kapita selama periode Oktober 2018-September 2019 mencapai 1,13 kg/tahun.
Membeli kopi kesukaan nampaknya bukan pengeluaran signifikan bagi banyak orang. Namun, jika Rp 20 ribu-Rp 50 ribu dihabiskan sehari untuk kopi, dalam sebulan Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta kita habiskan.
Bukannya tidak boleh jajan kopi kekinian, namun perlu dipertimbangkan juga, bahwa uang tersebut bisa saja diarahkan untuk membeli Asuransi, yang besaran premi per bulannya kurang lebih sama dengan bujet membeli kopi. Apalagi saat ini sudah ada produk Asuransi yang memberikan dua manfaat sekaligus kepada pemiliknya, atau biasa disebut Asuransi dwiguna.
Salah satu produk Asuransi dwiguna dan yang baru saja diluncurkan oleh Manulife Indonesia adalah MiAssurance Protection Plan (MiAction). Produk ini memberikan banyak manfaat antara lain manfaat pembayaran tunai tahunan, manfaat akhir masa pertanggungan jika Tertanggung hidup hingga akhir masa pertanggungan, dan manfaat meninggal dunia.
Dengan merelakan kenikmatan sesaat dan mengalokasikan dana tersebut untuk membeli produk Asuransi, kita bisa mempersiapkan diri dan menghadapi masa depan dengan lebih baik.
Membaca itu penting. Kita semua sepakat mendorong setiap orang untuk lebih sering membaca. Tetapi jika Anda adalah pembaca aktif, Anda mungkin tidak menyadari berapa banyak uang yang dihabiskan untuk buku maupun majalah.
Nominal pembelian buku sering kali bersifat kecil, tetapi jika konsisten, hal itu akan berdampak kepada pendapatan Anda. Seringkali, banyak orang terkejut betapa banyak dari pendapatan mereka yang dihabiskan di sana.
Lantas, apakah Anda harus berhenti membaca? Tidak, melainkan ada 3 cara yang bisa Anda lakukan untuk mereduksi biaya latte factor ini.
Apakah Anda menggunakan layanan berlangganan untuk menonton film atau mendengarkan musik?
Membayar biaya berlangganan Rp 49 ribu per bulan memang terlihat kecil. Namun, banyak dari kita yang justru jarang menggunakan aplikasi streaming online tersebut, namun terus-menerus membayarnya via kartu kredit.
Sekarang pikir ulang aplikasi mana yang benar-benar Anda dapat gunakan lebih sering. Jika dalam sebulan, Anda hanya membukanya 1-2 kali, itu pertanda bahwa Anda harus segera menonaktifkan langganan aplikasi tersebut.
Baca Juga: 3 Pelajaran Penting Soal Keuangan Di Tengah Pandemi
Disadari atau tidak, digitalisasi membuat transfer uang menjadi amat mudah dilakukan melalui smartphone. Namun sayang, ada biaya yang harus dibayar untuk kemudahan tersebut. Dan ini juga termasuk dalam latte factor.
Dalam sekali transfer antar bank, biaya yang dikenakan mencapai Rp 6500. Bayangkan jika Anda setiap hari harus transfer 5-10 kali, artinya ada potensi Rp 65 ribu hilang dari saldo Anda. Belum lagi dengan biaya top-up dompet digital yang merogoh kocek Rp 1000-Rp 1500 per sekali transfer. Coba hitung pengeluaran tersebut dalam sebulan, tentu Anda akan sadar berapa biaya yang hilang dengan percuma.
Saat ini, terdapat beberapa aplikasi yang memberikan gratis biaya transfer antar bank. Bahkan, beberapa perbankan juga memberikan fasilitas free transfer dengan syarat harus memiliki dana mengendap di rekening sejumlah tertentu.
Artinya, banyak cara untuk melakukan penghematan dari biaya-biaya yang tak perlu. Latte factor mengajak kita untuk jeli melihat “kebocoran” anggaran agar kita bisa memanfaatkan pundi-pundi dana tersebut untuk tujuan yang lebih bermanfaat. Selamat mencoba!
Kami akan segera merespon pesan Bapak/Ibu pada jam operasional kami.
Error:
Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. Silakan coba kembali beberapa saat lagi.
Kunjungi laman menarik lainnya:
Kami akan segera merespon pesan Bapak/Ibu pada jam operasional kami.
Error:
Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. Silakan coba kembali beberapa saat lagi.
Kunjungi laman menarik lainnya:
Manulife Indonesia melayani lebih dari 2,5 juta nasabah di Indonesia